Uang, Kekuasaan dan Kepalsuan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Uang, Kekuasaan dan Kepalsuan

Bagikan opini

Apakah karisma mereka akan tetap bersinar jika tak disokong amplop, bantuan sosial, atau proyek titipan?

Pertanyaan itu membawa kita pada soal mendasar: dari mana sumber kekayaan para politikus itu berasal? Apakah semata dari kerja keras dan profesi sah mereka?

Apakah berasal dari usaha bisnis pribadi yang sehat dan transparan? Ataukah ada pintu-pintu gelap yang mengalirkan dana jumbo ke kantong mereka—pintu yang sering kali bermuara dari kas negara?

Transparansi kekayaan pejabat publik sebenarnya sudah menjadi kewajiban. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) rutin diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tapi angka-angka itu kerap membuat alis terangkat. Bagaimana mungkin seorang anggota DPR bisa melaporkan kekayaan puluhan miliar dalam lima tahun, padahal gaji dan tunjangannya hanya seukuran eksekutif menengah?

Atau pejabat daerah yang naik kekayaannya dua kali lipat dalam masa jabatan pertama?

Kita tahu, tidak semua yang kaya itu curang. Tapi ketika sistem membuat ongkos politik begitu mahal, maka ruang bagi praktik menyimpang terbuka lebar.

Dari mark-up proyek hingga suap perizinan, dari dana aspirasi hingga permainan pengadaan—semuanya berpotensi menjadi sumber “pendanaan” bagi karier politikus yang lapar dukungan. Dan ironisnya, rakyat—yang mestinya dilayani—justru kerap dijadikan komoditas yang harus “dibeli.”

Dalam banyak kasus korupsi yang dibongkar KPK, motif utamanya adalah pembiayaan politik. Uang disedot dari proyek negara, lalu digunakan untuk menjaga posisi, memperluas pengaruh, atau membangun mesin pendukung.

Lalu, ketika politikus itu berhasil duduk di puncak kuasa, pola itu terus berulang. Kekuasaan dipelihara dengan uang, dan uang dipelihara dengan kekuasaan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini