Pelajaran utamanya begitu jelas: di dunia teknologi yang kejam, kejayaan adalah masa sewa, bukan hak milik abadi.
Perusahaan harus terus-menerus menguji asumsi, membongkar kebiasaan lama yang nyaman dan memiliki keberanian untuk membunuh produknya sendiri sebelum orang lain melakukannya.
DI SEBUAH sudut sunyi dalam sejarah industri, terhampar semacam “kuburan raksasa” yang nisannya tak diukir di batu, melainkan terpatri pada papan sirkuit yang usang, layar yang memudar dan logo yang perlahan sirna dari etalase dunia.
Di sanalah Blackberry, Nokia, Yahoo, MySpace, Kodak, Polaroid, Friendster, hingga Palm berbaring sunyi berdampingan.
Mereka adalah imperium yang pernah jaya, dipuja sebagai ikon budaya, lalu dalam senyap dilupakan, menjadi hantu dari masa lalu yang gemilang.
Blackberry, misalnya, bukan sekadar ponsel. Ia adalah simbol status. Tombol QWERTY-nya yang khas dan lampu notifikasi merah yang berkedip adalah penanda prestise kaum eksekutif dan profesional.
Layanan Blackberry Messenger (BBM) menjadi jaringan sosial eksklusif yang tak tertembus. Namun, di puncak kejayaannya, mereka memandang remeh iPhone yang datang tanpa tombol fisik.Keras kepala mempertahankan apa yang membuat mereka besar, Blackberry menolak gelombang revolusi layar sentuh.
Mereka terlambat menyadari bahwa masa depan bukan lagi tentang efisiensi mengetik, melainkan tentang ekosistem aplikasi dan pengalaman pengguna yang intuitif.
Di sisinya terbaring Nokia, sang raja ponsel sejuta umat yang tak tergoyahkan. Dengan slogan “Connecting People,” ponselnya ada di genggaman semua orang, dari desa hingga kota, terkenal karena daya tahan baterai dan bodi yang kokoh.