Namun, kenyamanan di singgasana membuat mereka buta. Ketika Google datang menawarkan Android sebagai sistem operasi terbuka yang fleksibel, Nokia menolaknya dengan angkuh, memilih setia pada Symbian yang mulai menua.
Keputusan fatal itu diperparah dengan pertaruhan keliru pada Windows Phone, sebuah aliansi yang justru mempercepat keruntuhan mahkotanya.
Gerbang utama menuju dunia maya, Yahoo, memiliki kisah yang lebih tragis: kematian akibat kehilangan fokus. Pada masanya, Yahoo adalah internet itu sendiri—portal berita, mesin pencari, layanan email, hingga messenger.
Namun, mereka gagal mengenali identitas intinya. Mereka ingin menjadi segalanya, dari perusahaan media hingga teknologi, dan akhirnya tidak menjadi apa-apa.
Mereka membuang peluang emas untuk mengakuisisi Google dan Facebook di masa-masa awal dengan harga yang kini terasa seperti lelucon.
Yahoo tersesat di persimpangan jalan, sementara para pesaingnya membangun jalan tol menuju masa depan.
Kisah serupa dialami para pionir jejaring sosial. MySpace, dengan kebebasan kustomisasi laman profilnya, runtuh justru oleh inovasi dan standardisasi yang ditawarkan Facebook.Sementara MySpace adalah panggung ekspresi diri yang riuh, Facebook menawarkan koneksi berbasis identitas asli yang lebih rapi dan terpercaya.
Jauh sebelumnya, Friendster sudah lebih dulu hadir dan sempat merajai Asia Tenggara, namun patah arang oleh infrastruktur yang tak memadai.
Server yang lamban dan ketidakmampuan beradaptasi dengan cepat membuatnya ditinggalkan penggunanya yang frustrasi, lalu tamat sebagai portal gim.