Ironi paling getir mungkin milik Kodak dan Polaroid. Keduanya adalah raksasa fotografi yang mengajari dunia cara mengabadikan kenangan.
Tragisnya, Kodak adalah penemu kamera digital pertama pada 1975, namun memilih menyembunyikan teknologi itu di laci, karena takut akan menggerus bisnis film konvensional mereka yang sangat menguntungkan.
Polaroid, yang membangun imperium di atas kepuasan instan, gagal melihat bahwa revolusi digital akan melahirkan bentuk kepuasan instan yang baru: berbagi foto secara daring.
Mereka terhapus dari album kenangan, digantikan oleh ponsel pintar yang mengubah semua orang menjadi fotografer instan.
Sementara itu, Palm, pelopor asisten digital genggam (PDA), kehabisan napas di tengah persaingan smartphone yang jauh lebih bertenaga dan terintegrasi.
Analisisnya sederhana namun pedih: semua merek ini tumbang karena satu penyakit kronis yang sama—kesombongan inovasi dan inersia korporat.Mereka merasa terlalu besar untuk jatuh, terlalu sukses untuk berubah. Mereka memandang perubahan pasar dan teknologi baru dengan tatapan meremehkan, menganggapnya hanya tren sesaat.
Sementara itu, para kompetitor datang bukan hanya dengan produk baru, tetapi dengan model bisnis dan cara berpikir yang sama sekali baru. Mereka tidak hanya menciptakan teknologi, tetapi juga budaya baru.
Pelajaran utamanya begitu jelas: di dunia teknologi yang kejam, kejayaan adalah masa sewa, bukan hak milik abadi.
Perusahaan harus terus-menerus menguji asumsi, membongkar kebiasaan lama yang nyaman, dan memiliki keberanian untuk membunuh produknya sendiri sebelum orang lain melakukannya.