Sebelum masuknya Islam ke Ranah Minang konsep adat yang digunakan dalam sistem kewarisan di masyarakat Minangkabau adalah sistem kolektif.
Harta warisan diturunkan kepada garis keturunan ibu atau matrilineal yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota kaum.
Hal inilah yang menimbulkan perdebatan, karena ada yang berpendapat pewarisan harta di Minangkabau bertolak belakang dengan hukum waris Islam dan ada juga yang berpendapat bahwa pewarisan harta di Minangkabau sudah sesuai dengan hukum waris Islam.
Pendapat ini menganggap bahwa harta pusaka tinggi keberadaannya sama dengan harta wakaf di Islam.
Namun akhirnya dalam Kongres Badan Permusyawaratan alim ulama, ninik ulama, dan cadiak pandai Minangkabau pada 4-5 Mei tahun 1952 di Bukittinggi dan juga seminar hukum adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada 21-25 Juli tahun 1968 menggunakan pendapat yang
memisahkan antara harta pusaka dan harta pencaharian.
Untuk harta pusaka diberlakukan hukum adat, yaitu diwaris turun temurun secara kolektif. Menurut garis keturunan itu.Sedangkan untuk harta pencaharian berlaku hukum waris Islam faraid.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Buya Hamka sebagaimana yang ditulis dalam bukunya yang berjudul "Ayahku" dan akhirnya klasifikasi harta di Minangkabau dibedakan menjadi dua jenis.
Yaitu, harta Pusako tinggi yang diwariskan sesuai adat Minangkabau dan harta pusako randa yang diwariskan sesuai dengan hukum syariat Islam.
Editor : VN-1Sumber : YouTube Kaba Rantau Official