Sedangkan letusan gunung berapi, tidak mendirikan permukiman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III dan tetap waspada di KRB II dan KRB I.
Kolaborasi Pengetahuan untuk Masa Depan yang Lebih Tangguh Bencana
Sementara itu, Filolog dari Universitas Andalas, Pramono memaparkan, Sumatera Barat sesungguhnya punya tradisi lisan soal kebencanaan, seperti cerita asal-usul nama tempat (toponimi), misalnya Bungo Pasang, Tarandam, Ampang Gadang, Kubang Putiah, Batuhampa dan lainnya.
Cerita prosa rakyat: mitos, legenda dan dongeng, termasuk arsitektur tradisional dengan penyebutan tonggak macu. Termasuk juga kisah teteu di Kepulauan Mentawai.
“Namun masih minim dokumentasi folklor kebencanaan,” kata Pramono yang baru saja merengkuh Surat Keputusan sebagai Guru Besar dari kementerian terkait di bidang Kajian Manuskrip ini.
Ia menjelaskan, sejarah dan tradisi lisan di Sumatera Barat menyimpan banyak pelajaran penting tentang mitigasi bencana.“Beberapa di antaranya bahkan diabadikan menjadi nama daerah. Secara lisan juga, gambaran peristiwa banjir juga dikisahkan dalam cerita-cerita kaba,” katanya.
“Selain wujud dalam tradisi lisan, rekaman peristiwa banjir juga dapat ditemukan dalam bentuk tertulis seperti naskah,” tambahnya.
Ia juga menambahkan, salah satu naskah yang secara khusus mengisahkan tentang bencana banjir di Minangkabaun adalah naskah “Syair Nagari Talu Taloe Tarendam 1890.”
“Rekaman peristiwa banjir tersebut dapat dijadikan sumber untuk memetakan wilayah rawan banjir di Sumatera Barat,” tuturnya.
Editor : Mangindo Kayo