Namun, apabila sudah tertangkap mereka hanya bisa menangis di depan kamera sembari berbicara hal-hal yang merujuk pada kata maaf, atau dapat disebut juga dengan budaya klarifikasi.
Pelaku berlindung pada kata maaf, namun korban masih belum mendapatkan tempat aman. Korban akan selalu merasa dirinya berada dalam ancaman apabila sistem hukum di negara ini masih menggunakan sistem anak di bawah umur tidak dapat di proses secara hukum dalam artian dipenjara.
Setidaknya, lembaga penegak hukum Indonesia dapat mencari alternatif lain dalam menunjukkan sikap tegas terhadap buruknya fenomena bullying.
Selama ini telah dilihat banyak sosialisasi yang telah dilakukan namun, lobang kasus ini tidak bisa menutup dan bahkan terus melebar.
Mungkin akan timbul pertanyaan dari kita semua tentang mengapa kasus bullying ini hanya terjadi pada zaman sekarang?
Bukankah pada zaman dahulu kasus perundungan ini juga banyak terjadi? Kembali lagi pada pernyataan sebelumnya, yakni mengenai perkembangan teknologi yang terlalu pesat.Dahulu tidak semua orang mempunyai handphone, berbeda dengan sekarang yang bahkan anak SD saja sudah mempunyai gadget.
Orang pada zaman dahulu tidak mempunyai sarana dalam melaporkan tindak kriminal ini. berbeda dengan sekarang, jejak digital akan sangat susah dihilangkan.
Apa yang telah diunggah, tidak akan bisa hilang dengan cara dihapus. Banyak orang yang lebih pintar dari pada pelaku di zaman sekarang.
Sebelum pelaku menyadari kesalahan yang ia lakukan dengan mengirimkan bukti kekerasannya pada media sosial, netizen sekarang jauh lebih pintar. Orang yang telah menyaksikan unggahan tersebut akan merekam kembali dengan ponsel mereka dan akan menyebarkan kejadian tersebut.