Ketika Berita Disulap Jadi Iklan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Ketika Berita Disulap Jadi Iklan

Bagikan opini

Masih ada ruang-ruang integritas, meski semakin sempit. Tantangan hari ini adalah menjaga kepercayaan di tengah tsunami informasi yang tak selalu jernih.

STUDIO televisi itu tampak sibuk. Kursi-kursi tertata rapi, kameramen bersiaga, dan narasumber duduk percaya diri. Tayangan bergaya wawancara eksklusif pun mengudara di salah satu stasiun televisi lokal ibu kota.

Namun, publik tak pernah tahu bahwa apa yang mereka saksikan bukanlah berita, melainkan produk berbayar senilai hampir setengah miliar rupiah.

Dewan Pers akhirnya angkat bicara: tayangan itu bukanlah produk jurnalistik.

Kasus ini menyeruak dari penanganan perkara obstruction of justice (OOJ) yang melibatkan elite politik dan aparat penegak hukum.

Salah satu stasiun televisi swasta, JakTV, disebut menayangkan program wawancara yang diatur oleh tim pemasaran atas permintaan klien tertentu.

Nilai kontraknya pun tak main-main: Rp484 juta. Dewan Pers menegaskan bahwa tayangan tersebut bukan hasil kerja redaksi, tak melalui proses verifikasi dan cover both sides dan tidak tunduk pada Kode Etik Jurnalistik.

Dengan kata lain, ini adalah advertorial dalam rupa berita.

Pernyataan itu jadi penanda alarm: jurnalisme Indonesia sedang digerus dua kutub yang sama bahayanya—komersialisasi dan manipulasi opini.

Fenomena konten berbayar yang dibungkus sebagai liputan jurnalistik, bukan barang baru. Di layar kaca, kita sering menyaksikan program bertema "dialog pembangunan daerah," "wawasan kebangsaan" atau "profil tokoh perubahan" yang nyaris tak menyebutkan bahwa itu adalah tayangan sponsor.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini