Ketika Berita Disulap Jadi Iklan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Ketika Berita Disulap Jadi Iklan

Bagikan opini

Di banyak media cetak dan daring, istilah advertorial berganti menjadi native advertising, soft campaign, atau dalam istilah lapangan: "pemuatan berbayar."

“Ini jelas mengaburkan batas antara fakta dan promosi,” ujar Wina Armada Sukardi, pengamat media dan hukum pers.

Ia menyebut, tanpa label yang jelas, publik mudah terjebak dalam persepsi keliru bahwa mereka sedang menerima informasi objektif.

Dilema ini tumbuh dari akar ekonomi yang rapuh. Banyak media bergantung pada pemasukan iklan atau kerja sama instansi, bukan pada langganan pembaca.

Di tengah persaingan digital yang brutal, ruang redaksi kian terjepit antara idealisme dan kebutuhan bertahan hidup.

Celah inilah yang dimanfaatkan banyak pihak: dari politisi hingga korporasi, semua ingin "membentuk citra" melalui berita yang bisa mereka kendalikan.

Masalah ini jadi lebih parah ketika narasi dibentuk untuk menutupi penyimpangan atau menyelamatkan citra pejabat yang sedang terseret kasus.

Di sinilah manipulasi opini mulai bekerja, bukan hanya merusak standar jurnalistik, tapi juga mengaburkan proses penegakan hukum di mata publik.

“Kita tak bisa menyebutnya pers jika tak ada independensi,” tegas Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.

Menurutnya, media wajib memberi label advertorial secara eksplisit untuk membedakan konten redaksi dan non-redaksi.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini