Maka; sudah waktunya umat Islam melihat ibadah ini dengan dua mata: satu untuk langit, satu untuk bumi. Di langit ada nilai keikhlasan, di bumi ada logika anggaran dan kekuasaan.
DI BALIK kemuliaan spiritualnya, haji adalah urusan dunia yang sangat serius. Ia melibatkan jutaan orang, ratusan triliun rupiah, dan jaringan diplomasi internasional yang rumit. Maka tak heran, haji tidak pernah betul-betul netral dari kekuasaan.
Di sinilah dua konsep penting bertemu: ekonomi politik haji dan politik ekonomi haji.
Keduanya menjelaskan bagaimana ibadah suci ini dikelilingi oleh kepentingan yang jauh lebih duniawi daripada yang tampak di permukaan.
Ekonomi politik haji menyoroti relasi kekuasaan yang melingkupi penyelenggaraan ibadah ini. Siapa yang memegang kendali atas kuota, visa, akomodasi, hingga pengelolaan dana jamaah?
Jawabannya: negara, oligarki biro haji, dan Arab Saudi sebagai pengendali tunggal situs suci.
Di Indonesia, urusan haji tak ubahnya satu ekosistem birokrasi yang begitu tertutup namun sangat menggiurkan.Dalam struktur ini, jamaah bukan lagi sekadar umat, melainkan komoditas politik dan ekonomi.
Bahkan sejak pendaftaran haji, jamaah sudah menjadi “investor” dalam sistem keuangan negara.
Setoran awal mereka — yang harus menunggu antrean belasan hingga puluhan tahun— dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Nilainya sangat besar: lebih dari Rp160 triliun.