Namun di tengah gelombang bukti ilmiah ini, Indonesia tetap menjadi satu dari sedikit negara yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO (FCTC).
Kebijakan pengendalian tembakau masih lemah dan cenderung kalah oleh tekanan ekonomi dan politik.
Industri rokok di Indonesia masih dilihat sebagai penyumbang besar pendapatan negara dan penyerap tenaga kerja.
Akibatnya, upaya pengendalian tembakau sering tersendat. Iklan rokok masih dapat ditemukan di berbagai ruang publik, promosi rokok masuk ke dalam acara musik dan olahraga dan kawasan tanpa rokok hanya efektif di beberapa kota besar.
Bahkan, kenaikan cukai rokok yang secara internasional diakui efektif dalam mengurangi konsumsi, kerap ditunda atau hanya naik tipis-tipis karena resistensi dari berbagai kepentingan.
Pada tahun 2024, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau mencapai Rp216,9 triliun. Angka ini menempatkan tembakau sebagai salah satu penyumbang tertinggi dalam struktur pendapatan negara dari sektor perpajakan.
Namun, dibalik angka tersebut tersembunyi biaya sosial dan ekonomi yang jauh lebih besar—dari beban sistem kesehatan publik, menurunnya produktivitas kerja, hingga hilangnya kualitas hidup jutaan warga negara.Lebih dari sekadar isu kesehatan, tembakau adalah soal keadilan antar-generasi. Saat negara abai terhadap regulasi dan membiarkan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang memaklumi bahkan merayakan budaya merokok, maka sesungguhnya negara telah lalai melindungi masa depan.
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 28B UUD 1945, menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan dari kekerasan atau eksploitasi.
Namun kenyataannya, anak-anak terus terekspos oleh iklan, rokok murah, dan lingkungan yang permisif terhadap kebiasaan merokok.