Dalam konteks tanggung jawab moral, ada setidaknya tiga kelompok sosial-profesional yang secara etis dan keilmuan seharusnya tidak merokok.
Pertama, guru atau pendidik, karena mereka menjadi panutan langsung bagi generasi muda. Perilaku merokok dari seorang guru akan memberikan pembenaran diam-diam bagi siswa untuk melakukan hal yang sama.
Kedua, tenaga medis atau paramedis. Mereka memahami secara ilmiah dampak buruk rokok dan seharusnya menjadi wajah terdepan dari kampanye gaya hidup sehat. Jika dokter atau perawat merokok, kepercayaan masyarakat terhadap pesan kesehatan bisa tergerus.
Ketiga, agamawan. Dalam banyak ajaran agama, merokok tidak hanya dinilai sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri, tetapi juga membahayakan orang lain, yang dalam hukum moral keagamaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela.
Dalam Islam, misalnya, merokok sering didekati dari sudut pandang larangan terhadap segala hal yang mendatangkan mudarat (kerugian), baik bagi diri sendiri maupun bagi makhluk lain.
Hari Tanpa Tembakau Sedunia seharusnya menjadi momen refleksi nasional. Apakah kita akan terus membiarkan tembakau menjadi bagian dari gaya hidup yang dianggap wajar?Ataukah kita cukup berani untuk menyusun ulang arah kebijakan demi melindungi kesehatan generasi yang akan datang?
Tentu, upaya ini tidak mudah. Tapi perubahan bisa dimulai dari keberanian politik untuk menaikkan cukai secara signifikan, melarang iklan dan promosi rokok sepenuhnya, membatasi akses anak terhadap rokok, serta memperluas kawasan bebas asap rokok.
Yang tidak kalah penting adalah perubahan budaya sosial. Kita perlu membangun kesadaran bahwa merokok bukanlah simbol kejantanan, kedewasaan, atau pergaulan. Merokok adalah tindakan yang menempatkan kesehatan pribadi dan orang lain dalam risiko.
Dengan edukasi yang konsisten, dukungan layanan berhenti merokok, dan kebijakan yang berpihak pada kesehatan publik, Indonesia bukan tidak mungkin keluar dari ketergantungan terhadap tembakau.