Platform digital merayakan atensi: siapa yang menarik perhatian terbanyak, dialah pemenangnya. Dan seperti hukum lama dalam pertunjukan sirkus, darah dan air mata adalah hiburan yang tak pernah sepi penonton.
Perlu ada etika baru dalam konsumsi informasi digital. Bukan hanya jurnalis yang harus berhati-hati, tapi juga pengguna media sosial.
SEORANG bocah tergilas truk di pinggiran kota. Videonya beredar luas di TikTok dan Instagram, lengkap dengan narasi dramatis, musik sendu, dan tagar #sedihbanget.
Tak sampai dua jam, unggahan itu sudah ditonton 1,2 juta kali. Di bawahnya, ribuan komentar berdatangan.
Sebagian menyalahkan sopir, sebagian bersimpati, sebagian lagi menyematkan tautan jualan sandal dan skincare. Inilah wajah media hari ini: luka jadi tontonan, tragedi jadi komoditas.
Ungkapan lawas dalam jurnalisme Barat berbunyi, “If it bleeds, it leads.” Kalau berdarah, maka layak jadi headline.
Dulu, ini berlaku di ruang redaksi surat kabar atau stasiun televisi, ketika editor memutuskan berita kecelakaan, pembunuhan, atau konflik bersenjata harus tampil di halaman depan karena "menjual."Hari ini, prinsip itu bukan hanya bertahan, tetapi justru membiak dalam bentuk yang lebih liar: menjadi algoritma di tangan pengguna media sosial dan konten kreator yang berburu klik dan keterlibatan.
Media massa konvensional mungkin masih punya redaktur dan kode etik. Tapi media daring dan jagat medsos sering kali tak mengenal rem.
Platform digital merayakan atensi: siapa yang menarik perhatian terbanyak, dialah pemenangnya. Dan seperti hukum lama dalam pertunjukan sirkus, darah dan air mata adalah hiburan yang tak pernah sepi penonton.