Dari "I Love New York," "Amazing Thailand" hingga "Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela"

Foto Muhibullah Azfa Manik
×

Dari "I Love New York," "Amazing Thailand" hingga "Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela"

Bagikan opini
Ilustrasi Dari "I Love New York," "Amazing Thailand" hingga "Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela"

Sementara itu, kota London menggunakan slogan “London: Everyone Welcome” sebagai respon terhadap meningkatnya sentimen eksklusivisme pasca-Brexit.

Frasa ini ingin menegaskan citra London sebagai kota global yang terbuka dan multikultural, meskipun Inggris secara politik menarik diri dari Uni Eropa.

Di kawasan Asia, kita mengenal slogan “Incredible India” yang sejak awal 2000-an menjadi representasi pariwisata nasional India.

Kampanye ini tidak hanya dipasang dalam iklan media internasional, tetapi juga disertai strategi visual yang kuat: warna-warna kontras, gambar spiritualitas, alam, dan warisan budaya.

Thailand juga punya slogan serupa, “Amazing Thailand,” yang menjadi ujung tombak branding pariwisata negeri gajah putih itu.

Slogan-slogan tersebut memperlihatkan satu hal penting: kekuatan frasa pendek yang dirancang dengan visi jangka panjang dan narasi yang konsisten bisa mengubah cara dunia memandang suatu tempat.

Mereka tidak hanya dibentuk oleh biro iklan, tetapi oleh sejarah, perilaku pemerintah, dan pengalaman warga serta pengunjung.

Dari Budaya ke Birokrasi

Dalam proses pembentukannya, slogan kota bisa lahir dari dua arah utama. Pertama, dari budaya masyarakat itu sendiri (bottom-up), seperti halnya “Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela,” yang merupakan contoh unik dari slogan yang berakar pada afeksi kultural sekaligus ditopang oleh promosi kolektif.

Ia bukan sekadar jargon, tetapi penanda ikatan emosional antara warga dan kotanya, semacam sumpah diam untuk menjaga dan membela tempat tinggalnya dari ancaman citra negatif atau kerusakan lingkungan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini