Ketika Semua Cumlaude, Siapa yang Menonjol?

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Ketika Semua Cumlaude, Siapa yang Menonjol?

Bagikan opini
Ilustrasi Ketika Semua Cumlaude, Siapa yang Menonjol?

Pendidikan tinggi harus berani berkata: yang baik akan dinilai baik, yang belum layak, ya belum. Sebab hanya dengan itulah kepercayaan publik terhadap dunia akademik bisa tetap hidup.

PADA SUATU masa, nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,0 sudah cukup membuat orang tua bangga, dosen tersenyum dan dunia kerja membuka pintu.

Tapi hari ini, 3,0 hanyalah angka biasa. Bahkan IPK 3,5 ke atas—yang dulu identik dengan mahasiswa teladan—kini jadi pencapaian umum dan gelar cumlaude nyaris menjadi rutinitas administratif pada prosesi wisuda.

Data tahun 2024 menunjukkan bahwa rerata IPK nasional mahasiswa Indonesia telah menyentuh angka 3,59.

Artinya, sebagian besar lulusan perguruan tinggi di negeri ini meraih nilai yang sangat tinggi.

Fenomena ini disebut banyak kalangan sebagai "inflasi IPK"—kenaikan nilai akademik secara masif tanpa jaminan bahwa kualitasnya juga ikut naik.

Pertanyaannya: apakah mahasiswa Indonesia memang makin pintar, ataukah kampusnya yang makin longgar memberi nilai?

Kondisi ini bukan datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan dari sistem yang makin fleksibel, kurikulum yang dirancang untuk memberi ruang belajar mandiri, hingga tugas-tugas yang kini lebih terstruktur dan ringan dibanding era sebelumnya.

Mahasiswa zaman sekarang tak lagi berkutat pada diktat fotokopian dan ujian tertutup, melainkan akrab dengan kelas daring, tugas proyek, dan diskusi terbuka.

Di sisi lain, pandemi COVID-19 telah mempercepat pergeseran paradigma pembelajaran, termasuk dalam hal penilaian.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini