Dunia kerja pun mulai bersikap skeptis. IPK yang tinggi kini bukan jaminan apa-apa. Perusahaan-perusahaan besar lebih tertarik melihat pengalaman magang, kemampuan problem solving atau kerja tim.
Tak sedikit HRD yang mengaku lebih percaya pada hasil tes langsung daripada nilai dalam transkrip. Gelar tak lagi cukup; yang penting adalah keterampilan.
Sebagian perusahaan bahkan mulai mencoret IPK dari daftar pertimbangan utama. Sebab, ada ironi yang diam-diam tumbuh: mahasiswa dengan IPK tinggi belum tentu bisa menulis laporan dengan baik, berdiskusi dengan percaya diri, atau menyusun presentasi yang logis.
Pendidikan kita terjebak dalam standar angka, tetapi lupa mengasah kemampuan nyata.
Namun, apakah semua ini berarti mahasiswa zaman sekarang lebih buruk?
Tidak juga. Mereka hidup di dunia yang jauh lebih kompleks, bergerak cepat, dan menuntut adaptasi tinggi.Mahasiswa kini lebih melek digital, terbiasa bekerja dalam tim, dan lebih berani menyuarakan pendapat. Mereka menguasai banyak hal di luar ruang kuliah: desain, coding, pemasaran daring hingga aktivisme sosial.
Tapi, kemampuan ini sering kali tak tercermin dalam sistem penilaian akademik yang kaku dan terlalu normatif.
Di sinilah letak persoalan utama: sistem penilaian kita tidak berkembang seiring dengan kompleksitas zaman.
Ia masih menjadikan IPK sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan dan keberhasilan, padahal dunia telah berubah.