Namun, ada hal lain yang diam-diam turut mempercepat laju inflasi IPK: tekanan kelembagaan. Kampus kini harus memenuhi indikator kinerja yang ketat untuk meraih akreditasi unggul.
Salah satunya: kelulusan tepat waktu dengan rerata IPK tinggi.
Maka tak heran jika banyak program studi mulai menghindari memberi nilai D atau E.
Mahasiswa tidak boleh gagal, karena itu berarti kegagalan sistem. Nilai bukan lagi hasil, tapi target yang harus dicapai bersama.
Di tengah atmosfer ini, dosen-dosen pun mengalami tekanan etis yang pelik.
Di satu sisi, mereka ingin menjaga standar akademik. Di sisi lain, mereka tahu bahwa nilai buruk bisa menghambat mahasiswa lulus, mempengaruhi akreditasi program studi, bahkan mengundang komplain orang tua.
Maka muncullah kecenderungan untuk “berdamai” dengan nilai aman—sebuah kompromi yang lama-lama menjadi kebiasaan.Ketika hampir semua mahasiswa lulus dengan IPK tinggi, predikat cumlaude kehilangan maknanya. Apa arti “dengan pujian” jika setengah dari peserta wisuda mendapatkannya?
Dalam banyak upacara kelulusan, kita bisa melihat spanduk yang mengabarkan: “Selamat kepada 350 lulusan cumlaude dari 600 wisudawan.”
Alih-alih menjadi prestasi, ia kini menjadi hal yang nyaris wajib. Kalau tidak cumlaude, justru jadi bahan tanya.