Akhirnya, IPK menjadi seperti nilai tukar yang terus dicetak tanpa kendali. Semakin banyak yang punya, semakin kecil nilainya.
Jika dibiarkan terus, inflasi IPK akan melahirkan generasi lulusan yang penuh angka tapi miskin pembeda.
Dunia kerja semakin kesulitan menilai, kampus semakin kehilangan otoritas penilaiannya, dan mahasiswa pun makin bingung: apa arti nilai jika semua orang dinyatakan sangat baik?
Kita butuh reformasi dalam cara memandang dan memberi nilai. IPK harus dikembalikan ke fungsi awalnya: sebagai cermin objektif dari proses belajar.
Evaluasi akademik tidak boleh jadi alat pencitraan institusi, apalagi dikompromikan untuk mengejar angka akreditasi.
Penilaian harus memberi ruang bagi variasi: bukan untuk menghukum, tapi untuk membedakan dan menunjukkan kejujuran intelektual.Predikat cumlaude juga sebaiknya tidak hanya dilihat dari IPK. Ia harus mencerminkan keunggulan nyata, baik dalam karya ilmiah, kontribusi sosial, maupun prestasi non-akademik.
Dengan demikian, gelar kehormatan itu kembali menjadi sesuatu yang pantas diraih—dan pantas dibanggakan.
Pada saat yang sama, mahasiswa pun perlu diajak membangun integritas akademik. Belajar bukan soal mengejar nilai tinggi, tapi mengasah kemampuan berpikir, berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah.
Dunia nyata tidak menilai IPK, melainkan bagaimana seseorang bekerja, beradaptasi, dan terus belajar.