Asyura: Antara Syukur Musa dan Dukacita Husein di Tanah Nusantara

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Asyura: Antara Syukur Musa dan Dukacita Husein di Tanah Nusantara

Bagikan opini
Ilustrasi Asyura: Antara Syukur Musa dan Dukacita Husein di Tanah Nusantara

Hari Asyura di Indonesia adalah sebuah mozaik yang indah. Ia menunjukkan kelenturan Islam Nusantara yang mampu merangkul beragam narasi historis tanpa harus saling menafikan.

LANGIT Pariaman, Sumatera Barat, kembali menjadi saksi bisu. Replika keranda megah bernama Tabuik, menjulang tinggi diarak ribuan manusia diiringi tabuhan gandang tasa yang bertalu-talu, memecah keheningan pesisir.

Ini bukan sekadar festival. Ini adalah puncak ritual mengenang sebuah tragedi agung yang terjadi 14 abad silam di padang Karbala, Irak.

Di sudut lain Nusantara, di sebuah desa di lereng Merapi, semangkuk bubur aneka warna—dikenal sebagai Bubur Suro—dibagikan kepada tetangga.

Manis, gurih, dan penuh simbol, ia menjadi penanda syukur dan harapan di awal tahun baru Hijriah.

Dua ritus, satu hari: 10 Muharram, atau Hari Asyura. Hari yang sama, namun dimaknai dengan narasi yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Di Indonesia, sebuah negeri dengan seribu wajah Islam, Asyura adalah panggung di mana syukur atas kemenangan Nabi Musa dan duka atas kesyahidan Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, bertemu dan berkelindan dalam tradisi yang kaya.

Apa sesungguhnya yang dikenang, dan hikmah apa yang coba digali dari perayaannya di Indonesia?

Dalil dan Dua Narasi Besar

Secara hukum, amalan utama pada Hari Asyura yang disepakati mayoritas ulama adalah puasa sunah. Landasan dalilnya kokoh, terpatri dalam hadis-hadis sahih.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini