Jejak Asyura di Indonesia: Akulturasi Iman dan Budaya
Bagaimana dua narasi ini bisa hidup berdampingan di Indonesia? Jawabannya terletak pada sejarah panjang masuknya Islam ke Nusantara.
Para pedagang dan sufi dari Gujarat (India) dan Persia—wilayah dengan pengaruh Syiah yang kuat—turut membawa tradisi dan kecintaan mereka kepada keluarga Nabi (ahlul bait).
Jejak ini berakulturasi dengan budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, menghasilkan ekspresi keagamaan yang unik.
Tradisi Bubur Suro atau Bubur Asyura adalah contoh paling gamblang. Meskipun tak ada dalil spesifik yang mengaturnya, tradisi ini mengakar kuat, terutama di Jawa.
Filosofinya kaya. Bubur yang lembut melambangkan peleburan dan persatuan. Isiannya yang beragam, seperti kacang-kacangan, umbi-umbian, dan sayuran (seringkali berjumlah tujuh atau sepuluh jenis), dimaknai sebagai simbol rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah.Ada pula yang mengaitkannya dengan kisah Nabi Nuh, yang konon memasak bubur dari sisa-sisa biji-bijian di dalam bahteranya setelah banjir besar surut. Bubur ini menjadi media sedekah, mempererat tali silaturahmi, dan wujud rasa syukur kolektif.
Sementara itu, ritual Tabuik di Pariaman adalah warisan yang lebih kentara dari narasi Karbala. Tradisi ini dibawa oleh tentara Sepoy (Muslim Syiah dari India) yang ditempatkan Inggris di Bengkulu pada abad ke-19, kemudian menyebar ke Pariaman.
Tabuik adalah representasi dari Buraq, makhluk surgawi yang membawa keranda jenazah Husein ke langit.
Prosesi yang berlangsung selama sepuluh hari pertama Muharram ini merekonstruksi beberapa episode tragedi Karbala, puncaknya adalah "perang" antara dua Tabuik yang kemudian dibuang ke laut sebagai simbol kembalinya jasad Husein ke haribaan Ilahi.