Riwayat paling populer berasal dari Ibnu Abbas, yang menceritakan ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari kesepuluh Muharram.
Ketika ditanya, mereka menjawab, ”Ini adalah hari agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta menenggelamkan Firaun dan tentaranya. Maka Musa berpuasa sebagai bentuk syukur, dan kami pun mengikutinya.”
Nabi Muhammad kemudian menegaskan, ”Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian.”
Sejak saat itu, beliau memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada Hari Asyura. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, untuk membedakan diri dari tradisi Yahudi, Nabi menganjurkan untuk berpuasa sehari sebelumnya (9 Muharram, dikenal sebagai puasa Tasu’a) atau sehari sesudahnya.
Inilah narasi pertama Asyura: sebuah perayaan iman, kemenangan kebenaran atas kezaliman, dan syukur atas pertolongan Tuhan.
Namun, sejarah mencatat peristiwa lain yang menorehkan luka mendalam pada tanggal yang sama, tepatnya pada 10 Muharram tahun 61 Hijriah (680 Masehi).Husein bin Ali, bersama sekitar 72 pengikut setianya, termasuk keluarga dan anak-anaknya, dibantai secara keji oleh pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala.
Peristiwa ini menjadi titik kulminasi perpecahan politik dan teologis dalam tubuh umat Islam, melahirkan narasi kedua Asyura: sebuah hari perkabungan, simbol perlawanan terhadap tirani, dan pengorbanan suci demi menegakkan keadilan.
Bagi komunitas Muslim Syiah, Asyura adalah hari duka, bukan suka.