Jalur prestasi pun hanya bisa menjaring siswa dengan capaian akademis atau non-akademis yang tinggi.
Sedangkan jalur mutasi—yang membuka peluang bagi anak pejabat atau pegawai yang pindah tugas—tidak cukup signifikan menambah jumlah siswa.
Akibatnya, ruang kelas tetap terbuka, bangku tetap tersusun rapi, tetapi tak semua diisi siswa.
Kondisi ini diperparah dengan persepsi masyarakat tentang kualitas sekolah. Masyarakat masih menilai tidak semua sekolah negeri memiliki kualitas pengajaran dan fasilitas yang setara.
“Orang tua lebih rela menyekolahkan anaknya jauh-jauh ke sekolah favorit ketimbang yang dekat rumah tapi kualitasnya diragukan,” kata seorang kepala sekolah negeri di kawasan pinggiran kota.
Masalahnya, kebijakan zonasi mengasumsikan bahwa semua sekolah negeri sudah setara dari sisi kualitas.
Kenyataannya, tidak demikian. Fasilitas laboratorium, tenaga pengajar, hingga sarana pendukung lain masih timpang antara sekolah di pusat kota dan yang berada di pinggiran.Seorang pengamat pendidikan dari universitas negeri di Sumatera Barat menjelaskan, “Zonasi itu baik, tapi prasyaratnya adalah pemerataan kualitas pendidikan. Kalau tidak, maka masyarakat tetap akan berbondong ke sekolah yang dianggap favorit, meski harus melanggar prinsip zonasi.”
Menurutnya, ketimpangan kualitas sekolah adalah masalah laten yang tak kunjung diselesaikan pemerintah daerah.
Laporan lembaga riset pendidikan nasional pada tahun lalu juga menyebutkan bahwa hanya sekitar 40 persen sekolah negeri di Indonesia yang memiliki laboratorium sains lengkap.