Disparitas fasilitas ini menjadi alasan kuat kenapa bangku di sekolah tertentu selalu kosong, sementara sekolah lain kelebihan murid.
Di sisi lain, evaluasi terhadap pelaksanaan zonasi di berbagai daerah, termasuk Padang, masih minim. Pemkot Padang dan Dinas Pendidikan setempat tampaknya belum memiliki peta kebutuhan pendidikan yang berbasis data demografis mikro.
“Kalau saja ada peta sebaran anak usia sekolah yang lebih rinci, maka pembukaan unit sekolah baru bisa lebih tepat sasaran,” kata pengamat tersebut.
Solusi lain yang bisa ditempuh adalah penguatan jalur afirmasi. Saat ini jalur tersebut masih mensyaratkan nilai akademik minimum, yang justru menghambat anak-anak dari keluarga kurang mampu yang selama ini mengalami ketertinggalan pendidikan sejak di tingkat dasar.
Jalur afirmasi semestinya menjadi mekanisme afirmatif yang tidak hanya melihat nilai, tetapi juga memberikan dukungan remedial agar anak-anak itu mampu mengejar ketertinggalan setelah diterima di sekolah negeri.
Selain itu, pemerintah daerah perlu memikirkan redistribusi tenaga pengajar dan peningkatan fasilitas di sekolah-sekolah yang selama ini dianggap sebagai pilihan kedua atau ketiga oleh masyarakat.Jika semua sekolah memiliki mutu yang hampir setara, maka ketergantungan pada sekolah favorit akan perlahan luntur.
Fenomena bangku kosong ini sejatinya adalah gambaran dari retaknya sistem pendidikan kita dalam mewujudkan pemerataan.
Bangku kosong bukan hanya berarti kursi tak berpenghuni. Ia adalah simbol dari anak-anak yang kehilangan hak pendidikannya, pemerintah daerah yang kurang sigap merespons dinamika demografi, serta ketidakadilan dalam kualitas layanan pendidikan negeri.
Jika pemerintah daerah serius ingin membenahi masalah ini, evaluasi kebijakan harus menjadi prioritas. Jangan sampai bangku kosong terus menjadi pemandangan tahunan yang seolah lumrah di tengah kampanye besar-besaran tentang wajib belajar dan pendidikan inklusif.