Menghitung Miskin: Ketika BPS dan Bank Dunia Tak Sepakat

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Menghitung Miskin: Ketika BPS dan Bank Dunia Tak Sepakat

Bagikan opini

Fenomena ini sebetulnya bukan hal baru. Sejak Bank Dunia memperbarui batas garis kemiskinan internasional pada tahun 2022, banyak negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia mulai menghadapi tantangan pembandingan.

PEKAN terakhir Juli 2025, ruang publik Indonesia kembali riuh. Bukan karena isu politik atau kriminal, melainkan gara-gara dua lembaga ternama, beda tafsir soal siapa yang pantas disebut miskin.

Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia mempublikasikan data kemiskinan nasional dengan selisih yang mencolok—ibarat dua termometer yang mengukur suhu dari kutub yang berbeda.

Pada 16 Juli 2025, BPS merilis data resmi kemiskinan nasional per Maret 2025. Hasilnya, angka kemiskinan menurun menjadi 9,1 persen, atau sekitar 25,4 juta jiwa.

Dalam keterangan resminya, Kepala BPS Margo Yuwono menyatakan penurunan ini mencerminkan efek positif berbagai program perlindungan sosial dan pengendalian inflasi pangan yang stabil sepanjang semester pertama tahun ini.

Namun sehari setelahnya, Bank Dunia mempublikasikan laporan tinjauan ekonominya untuk Indonesia.

Di situ disebutkan bahwa jika menggunakan standar garis kemiskinan internasional terbaru, sebesar US$3,65 per kapita per hari (dalam skema Purchasing Power Parity/PPP), maka sekitar 38 persen penduduk Indonesia masih tergolong miskin atau rentan miskin.

***

Perbedaan ini segera menyulut diskusi luas di media sosial, ruang redaksi, hingga grup WhatsApp warga.

Angka kemiskinan nasional BPS setara pengeluaran Rp578.910 per kapita per bulan, atau hanya sekitar Rp19.000 per hari.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini