Menghitung Miskin: Ketika BPS dan Bank Dunia Tak Sepakat

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Menghitung Miskin: Ketika BPS dan Bank Dunia Tak Sepakat

Bagikan opini

“Orang yang dianggap tidak miskin oleh BPS, belum tentu bisa menyekolahkan anaknya sampai SMA atau membayar BPJS ketika sakit,” ujar Maftuchan.

Ia menilai, pemakaian garis kemiskinan yang terlalu rendah berisiko mengecilkan kebutuhan riil masyarakat dan membuat kebijakan sosial terkesan cukup padahal belum menjangkau semua yang layak dibantu.

***

Fenomena ini sebetulnya bukan hal baru. Sejak Bank Dunia memperbarui batas garis kemiskinan internasional pada tahun 2022, banyak negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia mulai menghadapi tantangan pembandingan.

Beberapa negara, seperti Filipina dan Vietnam, telah mulai mengembangkan multi-dimensional poverty index untuk mengukur kemiskinan bukan hanya dari sisi konsumsi, tapi juga dari keterbatasan akses terhadap infrastruktur dasar dan ketimpangan sosial.

Indonesia sendiri sudah memiliki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan UDB (Unified Database), tapi sering kali masih berbasis data statis dan kurang adaptif terhadap kondisi lapangan.

Maka pertanyaan pentingnya bukan sekadar: “Berapa jumlah orang miskin hari ini?” Tapi lebih pada: “Siapa yang selama ini luput dari perhatian karena berada di antara angka-angka itu?”

***

Saat publik makin melek data, pemerintah tidak bisa lagi menutup perbedaan statistik ini dengan bahasa teknokratis. Justru perbedaan tafsir ini harus dijadikan ruang koreksi dan perbaikan—baik dalam cara kita mengukur kemiskinan maupun dalam merancang intervensi sosial.

Karena sejatinya, garis kemiskinan bukan sekadar ambang angka. Ia adalah cermin martabat. Dan ketika garis itu terlalu rendah, yang turun bukan hanya angka kemiskinan—tapi juga harapan akan hidup yang lebih layak. (*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini