Kisah tentang gawai dan pegawai ini pada akhirnya mengajarkan kita bahwa bahasa adalah makhluk hidup yang terus berevolusi. Kata-kata bisa terbelah, berkembang dan menemukan identitas baru seiring perubahan zaman.
DI TENGAH derasnya arus digitalisasi, kata "gawai" kian sering terdengar menggantikan istilah "gadget" dalam percakapan sehari-hari.
Namun, telinga kita yang sudah puluhan tahun akrab dengan kata "pegawai" sering kali mengernyit, bertanya-tanya apakah ada hubungan antara dua kata yang bunyinya hampir serupa ini.
Menelusuri kamus dan naskah kuno, kita menemukan fakta yang mengejutkan. Kata "gawai" dalam bahasa Indonesia ternyata menyimpan dua kisah asal-usul yang berbeda, seperti dua saudara kembar yang terpisah sejak lahir.
Di satu sisi, KBBI mendefinisikan "gawai" sebagai alat atau peranti, sebuah makna yang kini semakin populer seiring dengan menjamurnya perangkat elektronik. Smartphone, tablet, laptop - semua itu kini kita sebut dengan satu nama: gawai.
Namun di sisi lain, kata "pegawai" yang sudah melekat dalam kehidupan kerja kita justru berasal dari makna lain dari "gawai."
Dalam bahasa Melayu Klasik, "gawai" berarti pekerjaan atau usaha. Dengan demikian, "pegawai" secara harfiah berarti orang yang bekerja.Inilah yang menjelaskan mengapa kita mengenal istilah seperti "pegawai negeri" atau "pegawai swasta" tanpa pernah mempertanyakan hubungannya dengan perangkat elektronik.
Dr. Aisyah Anwar, pakar linguistik dari sebuah PTS di Jakarta, menjelaskan fenomena ini sebagai contoh menarik dari homofon dalam bahasa Indonesia.
"Ini adalah kasus dimana bunyi kata sama persis, tetapi etimologi dan maknanya justru terpisah sama sekali," ujarnya.