Ketika Timbangan Curang di Tanah Madyan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Ketika Timbangan Curang di Tanah Madyan

Bagikan opini
Ilustrasi Ketika Timbangan Curang di Tanah Madyan

Sementara "menambah takaran saat membeli" bisa kita saksikan dalam mark-up anggaran atau penggelapan dana publik.

Nabi Syu'aib, dengan kefasihannya, datang sebagai satu-satunya suara kejujuran. Ia tidak hanya menyerukan ibadah, tetapi juga mengingatkan kaumnya untuk menjaga integritas dalam setiap transaksi.

"Tegakkanlah timbangan itu dengan adil," serunya, sebuah ajakan yang sangat relevan di tengah masyarakat yang kini mengukur segalanya dengan uang.

Nasihatnya, yang dianggap kuno oleh kaum Madyan, justru adalah fondasi peradaban yang sehat. Mereka menolak karena menganggap agama adalah urusan pribadi, bukan urusan pasar.

Mereka mencibir Nabi Syu'aib karena ia berani mengganggu "kebebasan" mereka untuk menjadi kaya dengan cara apa pun.

Penolakan kaum Madyan berujung pada azab yang bertahap, sebuah skenario yang juga bisa kita saksikan hari ini.

Awalnya, azab datang dalam bentuk kekeringan—sebuah metafora untuk hilangnya keberkahan. Ketika sebuah masyarakat kehilangan moralnya, keberkahan akan mengering.

Hubungan antarmanusia menjadi tandus, kepercayaan menghilang, dan kekayaan yang dibangun dengan curang menjadi hampa.

Ketika ekonomi didominasi oleh korupsi dan ketidakjujuran, uang yang beredar tidak lagi membawa kemaslahatan, melainkan kekacauan.

Puncak dari kisah ini adalah azab berupa gempa, panas menyengat dan suara yang menggelegar. Ini adalah simbol kehancuran total. Masyarakat yang telah lama merusak fondasi moralnya akan runtuh dari dalam.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini