Harta yang haram cenderung membawa masalah, fitnah dan ketidaktenangan. Ia bisa menjadi sumber penyakit, perpecahan keluarga atau bahkan kehancuran total, seperti yang dialami Kaum Madyan.
Dalam konteks saat ini, pesan ini sangat penting. Di era di mana korupsi, manipulasi, dan kecurangan dianggap sebagai "jalan pintas menuju kesuksesan," kita harus kembali ke fondasi ajaran Nabi Syu'aib.
Tidak ada gunanya menyumbang milyaran rupiah untuk panti asuhan, jika uang itu didapat dari hasil merugikan negara. Tidak ada artinya membangun masjid mewah jika dana pembangunannya berasal dari menipu rakyat.
Sebab, kebersihan rezeki adalah inti dari integritas. Rezeki yang halal tidak hanya memberi kita keberkahan, tetapi juga menumbuhkan ketenangan batin, kejujuran dalam berinteraksi, dan kepedulian yang tulus.
Rezeki yang halal adalah pondasi bagi amalan baik lainnya. Ia menjadikan sedekah kita lebih bernilai, doa kita lebih didengar, dan hidup kita lebih damai.
Maka, kisah Nabi Syu'aib adalah panggilan untuk introspeksi. Bukan hanya soal jujur dengan timbangan fisik, tetapi juga jujur dengan timbangan hati kita.Apakah kita rela melepaskan keuntungan sesaat yang didapat dari cara yang kotor, demi keberkahan yang abadi?
Apakah kita lebih memilih sedikit rezeki yang halal, daripada limpahan harta yang haram?
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah ujian moral yang tak pernah usang, yang menentukan apakah kita akan mengikuti jejak Kaum Madyan yang musnah, atau jalan Nabi Syu'aib yang diridhoi. (*)