Pengalaman Ponorogo ini memberi pelajaran sederhana tapi tajam: kadang reformasi tidak datang dari atas, tetapi dari inisiatif kecil di lapangan. Satu klinik tak akan mengubah statistik nasional, tetapi ia bisa mengubah hidup banyak orang yang melewati pintunya.
DI RUANG tunggu yang sederhana di Jalan Letjend Sukowati, Desa Ngunut, Kecamatan Babadan, Ponorogo, suara langkah pasien bercampur aroma obat yang samar. Di luar, papan nama “Apotek dan Praktek dr R Medika” berdiri tenang.
Dari luar, ia tak berbeda dari klinik-klinik kecil lain di kota kabupaten ini. Tapi begitu pasien masuk ruang periksa, aturan lama dunia medis runtuh: tak ada tarif, tak ada kasir, tak ada lembaran kwitansi.
Selesai diperiksa dan diberi obat, pasien hanya perlu menunduk sebentar, memasukkan uang—berapa pun—ke kotak amal di sudut ruangan. Tak ada yang menunggu, tak ada yang menghitung.
Beberapa pasien bahkan datang dengan bungkusan berisi pisang, sayur, atau segenggam beras.
“Kalau benar-benar tidak punya, cukup doa yang tulus,” kata dr Rafika Augustine, 34 tahun, sambil tersenyum.
Rafika menyebut model ini “memulung amal.” Bagi pengemudi ojek online dan ojek pangkalan, bahkan itu pun gratis.“Ilmu yang saya punya ini titipan. Saya ingin memanfaatkannya untuk menabung amal di akhirat. Biar kuliah saya tidak menguap begitu saja,” ujar ibu satu anak itu, suaranya tenang tapi tegas.
Di tengah mahalnya biaya berobat, cara Rafika seperti melawan arus besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, meski ada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sekitar 13 persen warga Indonesia masih kesulitan mengakses layanan kesehatan karena hambatan biaya dan jarak.
Ponorogo, kota yang dikelilingi perbukitan di barat Jawa Timur, tidak terkecuali.