Bayar Seikhlasnya

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Bayar Seikhlasnya

Bagikan opini
Ilustrasi Bayar Seikhlasnya

Ia juga punya pemasukan tambahan dari apotek kecil di depan klinik, yang menjual obat di luar resep pemeriksaan.

“Selama saya bisa makan, cukup untuk anak sekolah, dan terus membantu orang, itu sudah cukup,” katanya.

Langkah Rafika bukan tanpa preseden. Di beberapa daerah, pernah muncul model “bayar seikhlasnya” untuk warung makan atau jasa tertentu, tetapi jarang bertahan lama. Dalam bidang medis, apalagi, kasus seperti ini terbilang langka.

“Karena kesehatan di sini sudah lama dipandang sebagai komoditas. Rafika mencoba mengembalikan ke asalnya: pelayanan publik,” kata Nur Wahyudi, pengamat kebijakan kesehatan di Surabaya.

Nur melihat praktik ini sebagai “prototipe” reformasi mikro di layanan kesehatan. Ia memang tak bisa menggantikan sistem nasional, tapi menjadi contoh bahwa ada alternatif di luar pola tarif kaku.

“Kalau pemerintah mau, model seperti ini bisa diintegrasikan dengan subsidi atau insentif, sehingga lebih banyak tenaga medis mau mencobanya,” ujarnya.

Di Ponorogo sendiri, respons masyarakat antusias. Kabar tentang klinik seikhlasnya menyebar dari mulut ke mulut, lalu ke media sosial.

Ojek online mulai menandai lokasinya di peta digital, memudahkan penumpang yang ingin mampir.

Sebagian pasien datang bukan hanya untuk berobat, tapi juga memberi dukungan moral—ada yang mengirim sembako, ada pula yang sekadar mampir mengucapkan terima kasih.

Meski begitu, Rafika tak menganggap dirinya pahlawan. Ia lebih nyaman disebut dokter biasa yang kebetulan memilih jalur berbeda.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini