Bayar Seikhlasnya

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Bayar Seikhlasnya

Bagikan opini
Ilustrasi Bayar Seikhlasnya

“Kalau bisa membantu orang dan bikin mereka sembuh tanpa khawatir soal uang, kenapa tidak?” katanya.

Di tingkat nasional, wacana pelayanan kesehatan berbasis solidaritas memang terus muncul, terutama setelah pandemi Covid-19 membuka mata banyak orang tentang rapuhnya sistem kesehatan publik.

Namun, sebagian besar wacana itu terjebak di ruang seminar dan dokumen kebijakan. Di lapangan, eksperimen seperti yang dilakukan Rafika adalah pengecualian.

Pengalaman Ponorogo ini memberi pelajaran sederhana tapi tajam: kadang reformasi tidak datang dari atas, tetapi dari inisiatif kecil di lapangan. Satu klinik tak akan mengubah statistik nasional, tetapi ia bisa mengubah hidup banyak orang yang melewati pintunya.

Dan, siapa tahu, mengilhami dokter lain untuk membuka ruang keikhlasan di tengah ruang praktik mereka sendiri.

Menjelang sore, sinar matahari menyelinap lewat jendela ruang tunggu. Seorang tukang ojek menenteng plastik berisi pisang raja masuk ke klinik, disambut senyum Rafika.

Di meja pojok, kotak amal kayu tetap diam, menunggu apa pun yang orang ingin berikan—uang, hasil kebun, atau doa.

Dalam hening itu, terlihat jelas: di tengah mahalnya harga sehat, ada yang memilih menawar dengan hati. (*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini