Vaksin Melawan Wabah Kebodohan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Vaksin Melawan Wabah Kebodohan

Bagikan opini
Ilustrasi Vaksin Melawan Wabah Kebodohan

Kita tahu, vaksin fisik seperti imunisasi tidak akan bekerja bila cakupannya rendah. Demikian pula dengan pendidikan. Bila hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa menikmatinya, kebodohan tetap akan menyebar, menular, dan akhirnya menekan kualitas demokrasi dan pembangunan.

KEBODOHAN adalah penyakit menular. Sayangnya vaksinnya adalah pendidikan dan itu tidak gratis.

Kalimat pendek Pierre Desproges ini terdengar seperti sindiran, tetapi lebih tepat disebut tamparan.

Ia mengingatkan bahwa kebodohan bukan hanya urusan pribadi, melainkan persoalan publik yang menyebar layaknya virus.

Di ruang politik, kebodohan tampil dalam bentuk massa yang gampang ditipu jargon kosong. Di ruang digital, ia hadir dalam banjir kabar palsu yang disebar tanpa pikir panjang.

Di ruang sosial, kebodohan mewujud dalam sikap intoleran yang menolak akal sehat. Kebodohan, kata Desproges, adalah penyakit yang menular. Maka vaksin untuk itu tak lain adalah pendidikan.

Ironinya, vaksin ini tidak murah. Ia butuh biaya, infrastruktur, tenaga pengajar, dan komitmen jangka panjang dari negara.

Bagi negara-negara maju, pendidikan adalah prioritas yang tidak bisa ditawar. Namun di negeri ini, meski konstitusi telah mengamanatkan alokasi minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan, wajah pendidikan kita masih jauh dari ideal.

Di pelosok negeri, masih ada ribuan sekolah rusak yang muridnya belajar di kelas bocor. Data Kementerian Pendidikan mencatat, lebih dari 100 ribu ruang kelas di Indonesia dalam kondisi rusak sedang hingga berat.

Guru honorer masih bertahan dengan gaji di bawah standar, bahkan ada yang dibayar tak lebih dari Rp500 ribu sebulan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini