Vaksin Melawan Wabah Kebodohan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Vaksin Melawan Wabah Kebodohan

Bagikan opini
Ilustrasi Vaksin Melawan Wabah Kebodohan

Di sisi lain, biaya masuk perguruan tinggi negeri kian melangit. Alih-alih vaksin murah meriah, pendidikan di banyak level masih terasa sebagai komoditas mahal.

Padahal, pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar untuk memutus rantai kebodohan yang diwariskan. Tanpa pendidikan, masyarakat mudah terjebak dalam politik uang.

Dalam pemilu, suara rakyat ditukar dengan sembako atau uang tunai. Akibatnya, lahir pemimpin yang tidak lahir dari kualitas gagasan, melainkan dari daya beli.

Kebodohan massal semacam ini berbuah pada kebijakan publik yang tidak berpihak pada kepentingan luas, melainkan pada segelintir elite.

Sejarah memberi banyak contoh. Krisis politik dan ekonomi 1998 yang mengguncang Indonesia, salah satunya, ditopang oleh rendahnya literasi publik untuk mengkritisi kebijakan negara.

Kini, di era digital, risiko kebodohan justru semakin berlipat. Masyarakat yang tidak memiliki kecakapan literasi digital, mudah ditarik masuk ke dalam hoaks, teori konspirasi, bahkan ujaran kebencian yang dibungkus agama.

Contoh kecil bisa dilihat pada kisah seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota, sebut saja namanya Marni.

Ia rutin menerima pesan berantai di grup WhatsApp keluarga yang berisi kabar bohong tentang vaksin, isu politik, bahkan ramalan kiamat.

Karena tak punya kemampuan literasi digital, Marni percaya begitu saja dan ikut menyebarkannya. Dalam seminggu, ratusan orang di lingkungannya ikut “terinfeksi” kabar bohong yang sama.

Atau lihat kisah seorang siswa SMP di daerah, Bima, yang sejak kecil bercita-cita menjadi guru. Namun karena keluarganya tak mampu membayar biaya sekolah lanjutan, ia terpaksa berhenti dan bekerja serabutan di pasar.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini