Ketiga mekanisme itu mulai dilirik sebagai solusi bagi permasalahan pemilu yang jamak ada.
Tidak hanya di Indonesia, terutama negara-negara besar yang memakai system demokrasi mulai mengimplentasikan i-voting atau e-voting dalam kegiatan pesta demokrasi mereka, antara lain India (Sistem EVM), Brazilia (e-voting), Estonia (Internet Voting), Amerika Serikat, Jepang dan Kanada.
Masing-masing dengan bentuk digitalisasi yang berbeda sesuai dengan tingkat penerimaan dan tingkat literasi digital masyarakatnya yang berbeda pula.
Ada yang semakin konsisten dan semakin yakin dengan e-voting dan kemudian berlanjut ke i-voting, namun ada juga yang setelah sekian tahun menggunakan i-voting kemudian berbalik arah kembali ke model manual.
Permasalahan utamanya adalah, landasan hukum untuk proses transformasi teknologi dalam pemilihan umum yang ada saat ini belum mengakomodir untuk penggunaan e-voting ataupun i-voting.
Penerapan e-counting atau e-rekap, e-voting, i-voting dan aplikasi-aplikasi lain sebagai metode resmi akan memerlukan amandemen hukum atau Undang-Undang khusus tentang digitalisasi pemilu, sehingga tidak menjadi perangkap dan celah hukum bagi penyelenggara pemilu.
Setelah landasan hukum ini terbentuk, maka selanjutnya perlu penataan insfrastruktur dan system yang mendukung pada semua tahapan pemilu.
Tranformasi teknologi dalam tahapan kepemiluan dengan bentuk yang tepat menjadi sebuah kebutuhan yang harus segera dilakukan dengan perencanaan yang terukur dan terevaluasi.Proses transformasi menuju pemilu digital harus dirancang secara hati-hati, bertahap, dan disesuaikan dengan kesiapan infrastruktur dan kepercayaan publik.
Penelitian sederhana yang dilakukan KPU Kota Padang menunjukkan bahwa transformasi teknologi adalah sebuah kebutuhan yang harus mulai dirintis pelaksanaannya yang disisi lain banyak tantangan besar yang mengiringi, terutama dari sisi sosialisasi Transformasi Teknologi dan masa “Uji Coba” dengan kesempatan untuk mendapatkan masukan dan melakukan perbaikan.