"Kami datang dari Muaro untuk berbagi, membawa buku sumbangan dari daerah lain di Indonesia buat adik-adik di sini. Jadi, buku ini bukan dari Muaro. Ada yang pernah ke Muaro?"
Hanya beberapa anak yang menunjuk tangan. Tidak semua pernah ke Muaro, ibukota kabupaten Sijunjung, lebih kurang dua jam ditempuh dengan motor dari kampung mereka. Kota kecil tanpa lampu merah, tanpa toko buku yang representatif, dan lamban seperti keong racun.
"Buku bisa membuat kita jadi hebat dan membawa ke mana-mana. Tapi kita harus hebat dan menghebatkan yang lain. Jangan jadi matahari, sendiri saja bercahaya, yang lain sangat tergantung kepadanya," ujar Lindo.
Seorang bujang berbaju silek diminta maju ke depan, mengikrarkan bersama-sama:
"Kita harus jadi hebat dan menghebatkan yang lain!"
Suara anak-anak rumah baca Negeri Awan bergemuruh mengikuti ikrar itu. Saya meneguk teh hangat, rasa manis melewati tenggorokan saya.Tibalah giliran saya bicara. Sejenak saya menebarkan pandang. Beberapa kali saya berserobok mata riang anak-anak.
Saya bertanya kepada mereka, "Apakah adik-adik di sini semua muslim?" Mereka menjawab iya. Saya bertanya kembali, "Apa ayat pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad?"
Anak-anak itu kasak-kusuk, hingga seorang anak menyebut Iqro.
"Ya, Iqro, bacalah! Diturunkan kepada manusia yang tidak bisa membaca, di dalam goa yang gelap, di jaman Jahiliyah. Mengapa ayat pertama yang turun bukan makanlah, bekerjalah, jadi orang kayalah?" sambut saya.