Oleh sebab itu struktur membutuhkan legalitas formal, pengakuan secara hukum, dan lebih pasti harus ada Undang-undangnya.
Dari abstraksi itu lahir pertanyaan: apakah pernah dalam sejarahnya orang Minangkabau terkungkung oleh sebuah struktur yang kuat, yang keras, seperti kerajaan di Jawa?
Tidak pernah. Sri Maharaja Diraja yang konon pernah ada di Minangkabau itu bukanlah representasi sebuah kerajaan digdaya seperti Majapahit atau Sriwijaya.
Tak pernah ada catatan bagaimana hukum dilaksanakan pada masa hidupnya. Tak jelas bagaimana memperlakukan orang yang melawan hukum. Sehingga simpulannya, Itu hanya sekedar nama, yang yang kebetulan mengesankan ia seorang raja yang sangat berkuasa.
Kerajaan Minangkabau pun hanya mitos, tak dapat disetarakan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa atau kesultanan di luar Sumatera Barat.
Mayoritas orang Minangkabau lebih dapat memahami konsep nagari ketimbang kerajaan. Hingga saat ini pun nagari itu eksis.
Hanya orang Minangkabau di daerah rantau (Pasaman, Pesisir Selatan, Sungai Pagu) yang benar-benar merasakan hidup dalam alam kerajaan atau kesultanan.Tapi kerajaan-kerajaan itu kecil, dengan penduduk sedikit, dengan sistem pemerintahan yang relatif sederhana. Raja-raja mereka pun sangat merakyat.
Dengan mengharapkan adanya kekuasaan besar yang akan mengatur masyarakat Minangkabau, DIM menjadi cermin gagasan berkerajaan yang tidak pernah ada di Minangkabau.
DIM menjadi sebuah fiksi struktural, yang berusaha memunculkan ilusi tentang masyarakat feodal dimana para penghulu menjadi punya kekuasaan sangat besar di nagari.