Dalam fiksi itu, penghulu dapat menghitam-putihkan nagari, dan dapat pula mengontrol perilaku rakyat nagari. Wah!
Struktur yang sangat kuat hampir selalu menjadikan rakyat sebagai korban. Paling tidak rakyat akan kehilangan kebebasan dan menjadi patuh karena paksaan.
Hidup mereka tidak ditentukan oleh kesadaran, tapi ketakutan kepada ancaman dan hukuman. Antitesa dari struktur yang kuat adalah kebebasan, yang melahirkan gerakan emansipasi.
Gerakan emansipasi atau liberalisasi sebenarnya sudah terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Tapi diam-diam, tanpa sorak-sorai.
Sekarang orang Minangkabau menikmati kebebasan hidup di luar kendali niniak-mamak dan alim ulama. Adat tidak begitu penting lagi, kecuali ketika ada sengketa tanah pusaka dan menikah.
Struktur masyarakat tradisional Minangkabau sudah sansai. Nagari yang kini ada bukan lagi kelanjutan dari nagari zaman lampau. Namanya saja yang nagari. Isinya sudah lain.Nampaknya dominasi antitesa berupa emansipasi dan liberalisasi itu yang merisaukan penggagas DIM. Sampai di sini, saya punya pandangan yang sama dengan penggagas DIM.
Hancurnya tatanan masyarakat tradisional memunculkan masyarakat yang tidak punya tujuan bersama. Masing-masing orang menjalani kehidupan dengan tujuan masing-masing, dan tak jarang saling berbenturan. Setiap orang menjadi raja bagi dirinya sendiri.
Pada saat yang sama kepemimpinan tradisional kehilangan legitimasi, hubungan kekerabatan merenggang, silaturahmi antar sesama memudar, bahkan yang lebih memprihatinkan adalah munculnya saling curiga yang membuat ikatan sosial semakin rapuh.
Kondisi ini menjadi lahan subur masuknya pikiran-pikiran sesat dari luar seperti LGBT, liberalisme, sekularisme, pluralisme, dll.