Penentangan terhadap DIM itu tidak hanya dari saya pribadi, tapi dari cukup banyak intelektual Sumatera Barat.
Saya hanya salah satu dari mereka yang kebetulan mengaktualisasikan penentangan itu melalui tulisan.
Persoalan utama yang kaum penentang kemukakan, termasuk juga saya, adalah kesalahpahaman penggagas DIM terhadap apa yang terjadi di Sumatera Barat.
Penggagas DIM itu memang awalnya Dr Mochtar Naim, tapi kemudian ditambah di sana-sini oleh pendukung beliau.
Saya cukup paham pikiran Dr Mochtar Naim, karena saya pernah jadi asisten beliau di Sosiologi Unand untuk beberapa mata kuliah.
Polesan ide Dr Mochtar Naim dari pendukungnya membuat DIM menjadi gagasan yang aneh di mata saya.
Saya tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, karena Dr Mochtar Naim tutup mulut menyimpan misteri.Beliau juga enggan bicara ketika saya temui di rumah beliau di Ciputat sebelum beliau wafat. Ada indikasi Pak Mochtar hanya jadi kuda tunggangan untuk sebuah misi.
Sementara, Dr Saafrudin Bahar yang justru lebih menonjol dalam pergerakan DIM, punya catatan khusus dari saya.
Pak Saaf ini orang yang ingin mengubah matrilineal Minangkabau jadi patrilineal.