Kalau pun ada sudah tidak harmoni lagi. Kehidupannya banyak diwarnai oleh keributan akibat sulutan api cemburu yang pada generasi sebelumnya nyaris tidak dikenal.
Nah, pertanyaannya. Mengapa generasi terdahulu mampu menjalani kehidupan berpoligami seperti kehidupan normal?
Apa yang membuat kenormalan berpoligami ini sirna dari komunitas kehidupan muslim, tak terkecuali Minangkabau yang berlandaskan falsafah ABS SBK?
Adakah peluang menormalisasi kembali kehidupan berpoligami ini dan bagaimana caranya?
Pertama; dahulu komunitas Muslim hidup normal dengan berpoligami karena ikatan tali agama yang sangat kuat, bahkan mutlak. Apabila suatu mindset telah dilegalisasi oleh nash syariat, maka mutlak tidak ada lagi bantahan.
Dalam bahasa ushul fiqh-nya disebut fa 'alar raksi wal 'aini.Jadi, karena sudah dilabeli dengan ayat Al Quran di atas, semua muslim waktu itu menerima dengan mutlak. Tidak sedikit pun muncul ruang perdebatan.
Kedua, seiring dengan datangnya arus banjir bandang globalisasi komunitas Muslim pun tak bisa mengelak dari paparannya. Tak terkecuali orang awak Minangkabau pun sama terpapar olehnya.
Dimulai dari memasyarakatnya penggunaan pesawat radio yang pada era di paragraf di atas nyaris tak dikenal, minimal sangat langka.
Dilanjutkan dengan pesawat televisi sebagai buah kemajuan teknologi informasi. Bahkan tanpa dapat diprediksi sebelumnya, berpadu dengan teknologi internet, teknologi informasi ini sekarang telah berada dalam genggaman.