Berpuluh tahun, kita terlalu fokus membangun sistem informasi hanya sebagai alat pelaporan. Anggaran terserap, proyek selesai, laporan tersedia.
Namun sistem yang seharusnya menjadi “otak digital” untuk membantu pemerintah berpikir, masih dianggap pelengkap, bukan inti.
Sementara itu, dunia usaha sudah melesat jauh. Perbankan memakai algoritma canggih untuk menilai risiko kredit.
Startup menyesuaikan harga dalam hitungan detik berdasarkan perilaku konsumen. Pemerintah? Masih menunggu laporan manual triwulanan untuk menentukan arah subsidi.
Hal ini terlihat sangat nyata di sektor UMKM. Dengan 64 juta pelaku usaha, mereka menyumbang lebih dari 61 persen PDB nasional.
Namun sayangnya, hanya 6,8 persen di antaranya yang benar-benar memproduksi barang sendiri di pasar digital. Sisanya hanyalah perantara—menjual ulang barang impor dengan margin tipis.
Bukannya jadi tulang punggung industri nasional, mereka malah terjebak dalam ekosistem yang justru memperbesar defisit dagang.Digitalisasi memang digaungkan.
Tapi pertanyaannya: digitalisasi untuk siapa?
Untuk produsen asing atau pemberdayaan pelaku usaha lokal?