(4) narasi tandingan seharusnya ditulis sebagai karya baru, bukan menggantikan narasi lama.
Ketimbang menggugat narasi sejarah lama dan mengusulkan “penggantinya”, jauh lebih bijak bila sejarawan menulis narasi baru yang berdiri sendiri, berdialog secara ilmiah.
Dalam kal ini, saya sejalan dengan pendekatan pluralistik dalam historiografi, yang dikembangkan oleh Peter Burke dalam New Perspectives on Historical Writing (1991), yang menyarankan agar pendekatan-pendekatan baru seperti –feminisme, sejarah mikro, sejarah subaltern--tidak dimaksudkan untuk menghapus yang lama, tetapi untuk memperluas horizon sejarah sebagai disiplin yang inklusif dan meniscayakan pendekatan yang beragama.
(5) Sejarah tidak boleh tunduk pada proyek politik memori.
Saya menolak penulisan ulang sejarah yang berangkat dari proyek hegemonik memori kolektif oleh negara, partai, atau kelompok identitas tertentu.
Upaya ini berisiko menempatkan sejarah sebagai alat propaganda atau penguatan identitas yang sempit.Saya sependapat dengan Michel-Rolph Trouillot dalam Silencing the Past (1995), yang memperingatkan bahwa kekuasaan dapat menentukan “siapa yang bisa bicara dan tentang apa.”
Justru karena itu, sejarah harus dijaga dari klaim ideologis semacam itu. Sejarawan mesti menjadi penjaga integritas masa lalu, bukan juru bicara masa kini.
(6) Sejarah bukan Buku LKS SD yang cenderung didtulis oleh siapapun yang menang tender atau ditunjuk langsung oleh kepala kantor.
Bagian ini sudah jelas, tak perlu saya jabarkan.