Bila kampus negeri yang menyandang status BLU benar-benar ingin jadi mercusuar ilmu dan keadilan sosial, maka sudah waktunya mereka membuka diri—bukan hanya membuka tarif.
DI ATAS KERTAS, konsep Badan Layanan Umum (BLU) adalah satu dari sedikit terobosan reformasi birokrasi yang patut dibanggakan.
Ia lahir dari semangat untuk mempercepat layanan publik tanpa terjebak belenggu administrasi negara yang kaku.
Kampus negeri, rumah sakit, pelabuhan, hingga lembaga riset—semuanya diberikan ruang untuk lebih lincah dalam mengelola pendapatan dan belanja mereka sendiri.
Dalam bahasa undang-undang, BLU adalah satuan kerja pemerintah yang diberi fleksibilitas pengelolaan keuangan demi pelayanan publik yang efisien. Bukan korporasi pencari untung, tapi juga bukan birokrasi yang pasrah pada APBN.
Namun, seperti banyak kebijakan baik di negeri ini, penerapannya tak selalu semulus rumus di atas kertas. Di banyak kampus negeri yang berstatus BLU, kebebasan mengelola dana masyarakat sering kali justru menimbulkan tanda tanya: siapa yang sebenarnya dilayani?
Mahasiswa, atau mesin administrasi kampus yang makin ekspansif?Ambil contoh tarif kuliah. Skema Uang Kuliah Tunggal (UKT) digadang sebagai bentuk keadilan sosial—mereka yang mampu membayar lebih, mereka yang kurang mampu diberi subsidi silang.
Tapi dalam praktiknya, UKT kerap menjadi sumber kebingungan. Orang tua mahasiswa geleng kepala, mengapa kenaikan UKT tidak disertai transparansi komponen biaya pokok pendidikan.
Mahasiswa protes, tapi sering dijawab dengan kalimat dingin: "Kami BLU, kami harus mandiri."