BLU: Sayap Otonomi yang Tak Sepenuhnya Bebas Terbang

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

BLU: Sayap Otonomi yang Tak Sepenuhnya Bebas Terbang

Bagikan opini
Ilustrasi BLU: Sayap Otonomi yang Tak Sepenuhnya Bebas Terbang

Kata “mandiri” itu, dalam banyak kasus, telah direduksi jadi dalih menaikkan tarif tanpa perlu berunding.

Di sinilah misi publik mulai kabur, digantikan mental dagang yang membungkus diri dengan jargon efisiensi.

Padahal, jika merujuk amanat UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta PP No 23 Tahun 2005, BLU sejatinya dituntut lebih dari sekadar “menarik uang dari masyarakat.”

Ia harus memberikan layanan berkualitas, berbasis kinerja, serta dapat diakses seluruh lapisan. Kata kuncinya: transparan, akuntabel, dan profesional.

Namun dalam laporan-laporan audit, seperti yang berkali-kali disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), banyak BLU kampus yang justru belum mampu menyusun perhitungan biaya pokok pendidikan secara sistematis.

Sebagian masih menggunakan pendekatan “biaya operasional dibagi jumlah mahasiswa,” tanpa mempertimbangkan efisiensi atau rasionalisasi beban kerja dosen dan staf.

Lebih buruk lagi, pendapatan dari UKT dan kerja sama riset tak jarang digunakan untuk membiayai program-program elitis yang minim dampak pada mahasiswa.

Di sisi lain, status BLU juga menciptakan dilema baru dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia. Kampus negeri yang berstatus BLU kini bisa membuka kelas internasional, program pascasarjana berbiaya tinggi, hingga pelatihan korporat.

Tapi, siapa yang bisa memastikan bahwa pendapatan ini tak menggerus komitmen mereka terhadap akses pendidikan yang terjangkau?

Dalam konteks ini, kampus negeri BLU perlahan menjadi pesaing bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di sekitarnya.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini