BLU: Sayap Otonomi yang Tak Sepenuhnya Bebas Terbang

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

BLU: Sayap Otonomi yang Tak Sepenuhnya Bebas Terbang

Bagikan opini
Ilustrasi BLU: Sayap Otonomi yang Tak Sepenuhnya Bebas Terbang

Bahkan dalam sejumlah kasus, PTS merasa tersisih dari pasar karena kampus negeri menawarkan program berbayar yang murah tapi berkualitas, berkat fasilitas negara yang mereka nikmati.

Ironis, karena PTS selama ini menanggung beban sendiri tanpa APBN, tapi malah bersaing dengan kampus negeri yang punya dua kaki—subsidi pemerintah dan pendapatan BLU.

Apa yang salah?

Mungkin bukan pada konsep BLU-nya, tapi pada ekosistem pengawasan dan perencanaannya. Fleksibilitas keuangan BLU memang dibutuhkan, terutama di tengah lambannya proses birokrasi negara.

Tapi jika fleksibilitas tidak diimbangi transparansi dan kontrol publik, maka otonomi bisa berubah jadi oligarki kecil di dalam institusi negara.

Kementerian yang menaungi BLU—entah itu Kemenkes, Kemenhub, atau Kemendikbudristek—harus menegakkan rambu: bahwa fleksibilitas bukanlah hak istimewa, tapi kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan.

Pengawasan tak bisa hanya berhenti pada laporan tahunan, tapi harus melibatkan partisipasi publik, mahasiswa, orang tua, dan masyarakat sipil.

Kini, di tengah dorongan transformasi digital dan persaingan global, sudah saatnya metode perhitungan biaya layanan di BLU diperbarui.

Pendekatan akuntansi konvensional bisa dilengkapi dengan metode berbasis aktivitas (activity-based costing), yang memungkinkan institusi memahami dengan lebih rinci dimana inefisiensi terjadi.

Pendekatan ini telah banyak digunakan di sektor pendidikan di negara-negara maju, untuk memetakan unit biaya per mahasiswa, per mata kuliah, bahkan per fasilitas.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini