Jika setelah segala pengorbanan fisik, biaya, dan waktu, kita masih belum mampu menyapa tetangga dengan senyum; jika kita masih marah karena hal sepele; jika kita masih memaki di jalanan, korupsi di kantor dan pelit pada yang miskin, maka mungkin haji kita belum benar-benar sampai.
DI TANAH SUCI, langkah para jemaah haji seperti tak pernah berhenti. Mereka berjalan berpuluh kilometer, dari thawaf mengelilingi Ka'bah, berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, hingga melempar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap setan.
Ibadah ini bukan perkara ringan. Ia menguras fisik, emosi, juga biaya. Maka wajar jika sabda Nabi Muhammad SAW menyebut: "Haji mabrur, balasannya adalah surga."
Namun pertanyaan yang mengusik kita setiap tahun adalah ini: mengapa setelah pulang dari haji, banyak yang tak tampak seperti baru saja melakukan perjalanan spiritual terbesar dalam hidupnya?
Kenapa sebagian yang bergelar "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" justru tetap abai terhadap kewajiban menutup aurat, tetap suka bergunjing, bahkan tak segan menyakiti sesama, menyuap atau memotong hak orang lain?
Ada semacam kejanggalan sosial yang berulang setiap musim haji. Bahwa ibadah yang seharusnya menjadi titik balik, malah seringkali hanya menjadi titik singgah.
Ia berhenti di level simbolik—baju putih, oleh-oleh kurma, panggilan kehormatan—tanpa membekas dalam kesadaran etik.Padahal secara spiritual, haji adalah ritual pembersihan diri yang luar biasa. Dalam thawaf, seorang Muslim menempatkan Tuhan sebagai pusat.
Dalam sa'i, ia menghayati perjuangan dan harapan. Dalam wukuf di Arafah, ia berdiri sebagai manusia rapuh di hadapan ilahi.
Lalu, dalam melempar jumrah, ia menyimbolkan tekad untuk menolak bisikan jahat—baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri.