Haji Mabrur, Etika yang Tak Pulang

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Haji Mabrur, Etika yang Tak Pulang

Bagikan opini
Ilustrasi Haji Mabrur, Etika yang Tak Pulang

Kementerian Agama dan ormas-ormas Islam perlu memperbanyak forum reflektif—bukan sekadar seremonial reuni haji.

Kedua, masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai kualitas ibadah, bukan hanya gelar. Seorang haji yang masih menyakiti orang lain, belum tentu hajinya mabrur.

Kita tidak bisa mengukur kedekatan seseorang dengan Tuhan dari jumlah ibadah ritualnya, tapi dari seberapa besar kasih sayang dan keadilannya dalam hidup sosial.

Akhirnya, haji adalah janji. Janji untuk berubah. Janji untuk menjadi manusia yang lebih jujur, lebih peka, lebih rendah hati.

Jika setelah segala pengorbanan fisik, biaya, dan waktu, kita masih belum mampu menyapa tetangga dengan senyum; jika kita masih marah karena hal sepele; jika kita masih memaki di jalanan, korupsi di kantor, dan pelit pada yang miskin, maka mungkin haji kita belum benar-benar sampai.

Karena haji yang diterima bukan hanya yang sampai ke Mekkah, tetapi yang pulang dengan membawa Mekkah di dalam dirinya—yang menjadikan dirinya tempat suci bagi sesama: aman, sejuk, dan penuh kasih.

Itulah haji yang mabrur, dan itu pula yang menjadi jalan ke surga. Bukan surga di akhirat saja, tapi juga surga sosial di bumi ini: masyarakat yang adil, damai, dan berperikemanusiaan. (*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini