Haji Mabrur, Etika yang Tak Pulang

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Haji Mabrur, Etika yang Tak Pulang

Bagikan opini
Ilustrasi Haji Mabrur, Etika yang Tak Pulang

Data KPK menunjukkan bahwa korupsi tetap masif, bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang menyandang gelar haji.

Kita juga bisa melihat kontradiksi di ruang publik. Masih banyak tokoh masyarakat yang rajin umrah dan haji, tetapi cuek terhadap penderitaan tetangganya.

Masih banyak tokoh ormas Islam yang lantang soal ritual, tapi bungkam saat ada ketidakadilan struktural di sekitarnya.

Apa yang salah?

Bisa jadi, yang salah adalah cara kita memaknai ibadah. Haji dijalankan sebagai seremoni, bukan perjalanan batin.

Sebagai pengukuhan identitas sosial, bukan perenungan eksistensial. Akhirnya, haji tak lebih dari ritual mahal yang berujung pada euforia sesaat, bukan revolusi kesadaran.

Ada yang mengatakan bahwa haji seperti titik nol: titik untuk memulai kembali hidup yang bersih. Tapi banyak yang gagal menjaga titik nol itu.

Kita terlalu cepat kembali ke titik asal, karena lingkungan sosial tak ikut berubah. Bahkan bisa jadi, ketika pulang dari Mekkah, seseorang justru makin besar egonya.

Ia merasa lebih suci, lebih tahu, dan lebih patut didengar. Padahal spiritualitas sejati justru melahirkan kerendahan hati.

Penting bagi negara dan masyarakat untuk memperbaiki ekosistem ini. Pertama, pembinaan pascahaji harus diperkuat. Jangan hanya menyiapkan jemaah secara logistik, tetapi juga secara nilai.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini