Mendengarkan Ilmu, Menyimpan Ingatan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Mendengarkan Ilmu, Menyimpan Ingatan

Bagikan opini
Ilustrasi Mendengarkan Ilmu, Menyimpan Ingatan

Mengapa belajar terasa membosankan bagi sebagian orang? Daniel T. Willingham menjawabnya dengan cara kerja otak. Gaya belajar ternyata bukan segalanya.

SUATU PAGI, di sela kemacetan Ibu Kota, Rina—karyawan swasta berusia 29 tahun—menyambungkan ponselnya ke sistem audio mobil. Suara narator dari sebuah aplikasi buku digital mulai mengisi kabin.

“Buku ini akan menjelaskan prinsip dasar ekonomi perilaku,” bunyi pembuka itu.

Rina, seperti jutaan pendengar lainnya, adalah bagian dari gelombang pembelajar baru yang memilih mendengar daripada membaca.

Namun, apakah mendengarkan buku betul-betul membuat kita lebih paham? Atau hanya memberi rasa produktif semu?

Psikolog kognitif Daniel T. Willingham mencoba menjawab pertanyaan ini dari hulu: bagaimana otak bekerja saat belajar?

Dalam bukunya Why Don’t Students Like School?, yang pertama kali terbit pada 2009 dan diperbarui pada 2021, Willingham membeberkan bahwa kesulitan belajar bukanlah karena siswa malas, melainkan karena otak manusia memang tidak “didesain” untuk berpikir keras.

“Otak kita cenderung menghindari pemikiran mendalam karena proses itu lambat, berisiko salah dan melelahkan,” tulis Willingham, profesor di University of Virginia, Amerika Serikat.

Ia menekankan, berpikir itu berat dan kita cenderung mencari kenyamanan mental—termasuk dalam bentuk audio book.

Namun, Willingham tidak serta-merta mencemooh metode belajar populer seperti mendengarkan. Ia justru membongkar mitos-mitos di balik apa yang disebut “gaya belajar.”

Bagikan

Opini lainnya
Terkini