Jika dijumlah dalam sebulan (dengan 22 hari kerja), totalnya Rp2,2 juta. Jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan bulanan masyarakat pekerja di daerah ini.
Rakyat pun bereaksi. “Untuk sopir travel, tarif ini berat. Bisa menggerus margin harian,” ujar Hamzah, pengemudi rute Padang–Pariaman yang biasa lewat jalur lama. Jalur lama memang lebih padat, tapi tidak dipungut biaya.
Pelaku UMKM dan pedagang kecil di pinggir jalur lama juga bersuara. Jalan tol, yang menawarkan jalur cepat tanpa hambatan, otomatis mengurangi lalu lintas kendaraan di jalan lama.
Bagi warung nasi, penjual bensin eceran, dan warung kopi yang selama ini menggantungkan nasib dari lalu-lalang pengendara, itu bisa berarti penurunan omzet hingga separuhnya.
Tol, dalam konteks ini, bisa menjadi paradoks ekonomi: di satu sisi mempercepat konektivitas, di sisi lain bisa memutus mata rantai ekonomi lokal yang telah mapan selama puluhan tahun.
Maka pertanyaannya: adakah strategi integrasi ekonomi antara tol dan daerah sekitarnya? Jika tidak, tol bisa menjadi simbol kemajuan yang menyingkirkan rakyat kecil dari arus utama pertumbuhan.
Antara Mobilitas dan Sekat BaruSecara sosial, tol membuka ruang baru. Mobilitas warga antardaerah meningkat. Akses ke pusat layanan pendidikan, kesehatan, dan distribusi logistik menjadi lebih cepat.
Namun hal ini cenderung dinikmati oleh kelompok masyarakat berdaya beli tinggi dan pengguna kendaraan pribadi.
Sebaliknya, sebagian besar warga masih bergantung pada angkutan umum dan kendaraan roda dua. Tol tidak serta-merta mengakomodasi mereka, terutama jika tarif menjadi beban tambahan.