Tak hanya itu. Proses pembebasan lahan tol sebelumnya juga menyisakan cerita panjang yang getir. Di beberapa titik, warga merasa kurang dilibatkan atau mendapat kompensasi yang tidak memadai.
Hal ini menyisakan perasaan keterasingan terhadap proyek-proyek besar yang digulirkan pemerintah pusat tanpa partisipasi berarti dari warga lokal.
Kondisi ini membuat jalan tol bukan hanya menjadi batas fisik, tetapi juga pembatas sosial yang memperlebar jurang antara yang bisa melaju cepat dan yang harus tertinggal.
Budaya: Alam Takambang jadi Lintasan
Minangkabau adalah satu dari sedikit peradaban lokal yang masih hidup dan dinamis di Indonesia. Alam takambang jadi guru—alam mengajarkan tata nilai, termasuk soal musyawarah, mufakat, dan relasi antarmanusia dan lingkungan.
Jalan tol, dalam kacamata ini, bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan juga "tamu besar" yang memasuki ruang budaya.Pembangunan jalan tol memotong sejumlah kawasan ladang, hutan kecil, hingga nagari yang memiliki nilai historis dan simbolik.
Di beberapa tempat, bahkan sempat menimbulkan ketegangan ketika nilai ganti rugi dinilai tidak sebanding dengan nilai sakral atau adat lahan tersebut.
Budaya rantau dan pulang kampung, yang menjadi denyut identitas orang Minang, juga ikut terpengaruh.
Dulu, perjalanan dari rantau ke kampung punya makna tersendiri—melewati lembah, singgah di warung, melihat sawah. Jalan tol memangkas waktu, tapi juga memangkas makna perjalanan itu.